Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928
Kami poetra
dan poetri Indonesia
mengakoe bertumpah darah satoe,
Tanah Air
Indonesia.
Kami poetra
dan poetri Indonesia
mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetra
dan poetri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa
Indonesia.
Jika kita mencermati butir-butir pernyataan yang terdapat dalam sumpah pemuda, maka kita
akan menemukan bahwa terdapat perbedaan pada butir ketiga dibandingkan dengan
dua butir yang sebelumnya. Pada butir pertama berbunyi “mengakoe bertumpah
darah satoe”, pada butir kedua berbunyi “mengakoe berbangsa satoe”, sedangkan
pada butir ketiga berbunyi “mendjoendjoeng bahasa persatoean”. Pertanyaannya
yaitu mengapa butir ketiga tidak berbunyi “mengakoe berbahasa yang satoe”?
Menelisir ke
masa lalu ketika Sumpah Pemuda dirumuskan, pada waktu itu terdapat banyak kaum
muda yang terdiri dari berbagai suku di Indonesia. Masing-masing dari mereka
mempunyai bahasa daerahnya masing-masing. Dalam perumusan Sumpah Pemuda, Bahasa
Indonesia berperan sebagai bahasa
nasional yang menjembatani komunikasi antara orang yang berbeda bahasa daerahnya.
Walaupun
begitu, di dalam rumusan Sumpah Pemuda tidak dituliskan bahwa Bahasa Indonesia
sebagai bahasa yang satu. Itu dikarenakan apabila dituliskan “mengakoe
berbahasa yang satoe, Bahasa Indonesia” itu sama halnya dengan melupakan bahasa
daerah yang mana jumlahnya ada 748 bahasa (Depdiknas, 2008). Kita patut
berbangga kepada para pendahulu kita, karena merekalah bahasa-bahasa daerah
masih eksis di Indonesia sampai saat ini.
Dapat kita bayangkan, apabila bahasa daerah tidak
digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari. Penutur bahasa daerah akan semakin
sedikit karena orang-orang yang dapat menuturkannya akan mati, sedangkan
generasi setelahnya tidak mempelajari bahasa tersebut. Jika kondisi tersebut
berkelanjutan, maka lama-kelamaan tidak ada lagi orang yang menguasai bahasa
daerah itu, sehingga bahasa daerah tersebut dinyatakan punah.
No comments:
Post a Comment